SOSIALISASI

Jenis sosialisasi
Keluarga sebagai perantara sosialisasi primer

Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.

* Sosialisasi primer

Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.

Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.

* Sosialisasi sekunder

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami ‘pencabutan’ identitas diri yang lama.
[sunting] Tipe sosialisasi

Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar ‘apakah seseorang itu baik atau tidak’ di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.

* Formal

Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.

* Informal

Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.

Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?

Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
[sunting] Pola sosialisasi

Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.
[sunting] Proses sosialisasi
[sunting] Menurut George Herbert Mead

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.

* Tahap persiapan (Preparatory Stage)

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

Contoh: Kata “makan” yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan “mam”. Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.

* Tahap meniru (Play Stage)

Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)

* Tahap siap bertindak (Game Stage)

Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

* Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)

Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama–bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya– secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
[sunting] Menurut Charles H. Cooley

Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.

1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.

Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.

2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.

Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.

3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.

Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.

Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap “nakal”, maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai “anak nakal” sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
[sunting] Agen sosialisasi

Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.

Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.

Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.

* Keluarga (kinship)

Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

* Teman pergaulan

Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.

Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.

* Lembaga pendidikan formal (sekolah)

Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.

* Media massa

Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.

Contoh:

* Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
* Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
* Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.

* Agen-agen lain

Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi

kasus tentang penderitaan dan keadilan

KASUS TENTANG PENDERITAAN DAN KEADILAN

KASUS TENTANG PENDERITAAN

Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi perawat disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien.

KASUS TENTANG KEADILAN

Kasus Prita Mulyasari Kembali Mengusik Keadilan – Sebelumnya, LM menghaturkan berduka atas matinya rasa keadilan dan semakin banyaknya jeritan hati yang menuntut keadilan di negeri tercinta ini. Untuk yang kesekian kalinya, wajah hukum di negeri ini kembali mengusik rasa keadilan rakyaknya, di saat pemerintah buram atas hilangnya Nazaruddin yang kabur dari jeratan hukum kini ketukan palu kasasi Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa dalam kasus Prita Mulyasari dengan vonis enam bulan dengan masa percobaan satu tahun.

Pengadilan Negeri Tangerang sudah memutuskan bebas atas Prita dari tuntutan jaksa dengan dakwaan pencemaran nama baik Rumah Sakit (RS) Omni Internasional tidak terbukti secara sah dan meyakinkan yang sebelumnya Prita diwajibkan membayar uang ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional.

Seperti dilansir Berita8, ketika ditanya soal putusan MA, dirinya mengaku bingung. “Bingung. Karena di PN Tangerang sudah sangat terbuka dengan pembuktian dan saksi-saksi. Hakim sudah memvonis bebas. Namun pada saat di MA, mereka menggelar sidang tertutup, saya tak hadir, kuasa hukum tak hadir, masyarakat juga tak tahu prosesnya seperti apa, kok tiba-tiba saya dinyatakan bersalah, bingung. Benar-benar bingung,” ungkap Prita.

Berdasarkan informasi dari situs Mahkamah Agung, diketahui bahwa MA mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum perkara Prita pada 30 Juni 2011. Dengan demikian, Prita dinyatakan bersalah di tingkat kasasi.

Majelis hakim agung yang memutuskan perkara tersebut adalah Zaharuddin Utama, Salman Luthan, dan Imam Harjadi. Putusan tersebut bernomor 822 K/PID.SUS 2010 atas kasus tindak pidana informasi elektronik.

Untuk Prita Mulyasari saudaraku, mudah-mudahan Allah SWT memberikan kesabaran dan kekuatan lahir batin dalam melewati cobaan ini. Aamin.
Gimana menurut kamu tentang “Kasus Prita Mulyasari Kembali Mengusik Keadilan” di Lingkar Merah – Adira Asuransi Kendaraan Terbaik Indonesia ini? Beri Klik dan Komentarnya ya kalau ini menarik juga bagikan ke Facebook, Twitter dan Google… Terima kasih…!!!

sumber :
http://nofrizaldeffosaputra.blogspot.com/2011/11/kasus-tentang-penderitaan-dan-keadilan.html

MANUSIA DAN PENDERITAAN

MAKNA PENDERITAAN

Sebagian orang tidak menemukan jawaban yang memuaskan, terhadap realita penderitaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Seringkali orang bertanya: “Jika Allah ada, dan jika Allah itu baik, mengapa Ia membiarkan banyak kejahatan terjadi di dunia ini? Mengapa Allah membiarkan pengalaman-pengalaman tragis terjadi di dalam kehidupan banyak orang?” Pertanyaan itu lebih sering diajukan, jika sesuatu yang buruk terjadi pada orang-orang yang dianggap baik. Bukan pelaku kriminal, tetapi orang-orang yang sangat setia beribadah, dan melayani. Misalnya ketika mereka mengalami penyakit kronis yang mematikan, ada dokter yang salah mengoperasi, sehingga lumpuh atau makin parah. Mungkin saja anaknya diperkosa, bisnisnya gagal total, atau orang yang sangat dikasihi meninggal dunia, dan sebagainya.

Bagaimana mengaitkan kebaikan dan kasih Allah, dengan peristiwa-peristiwa ‘buruk’ yang terjadi dalam kehidupan seperti itu? Dan bagaimana kita mampu melihat dari perspektif Allah, ketika Ia mengijinkan penderitaan berat terjadi, menimpa diri kita, atau keluarga kita. Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu mendefinisikan beberapa hal terlebih dahulu, seperti kata ‘hal buruk’dan “orang baik.”

Suatu kali seorang muda datang kepada Tuhan Yesus dan berkata: “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Kemudian Tuhan Yesus : “Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik, selain dari pada Allah saja.”(Mrk 10:17-18). Tuhan Yesus menegaskan, bahwa di dunia ini tidak ada orang yang baik, dan hanya Allah saja pribadi yang baik. Seperti tertulis dalam kitab Roma “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorang pun tidak.” (Roma 3:10-12).” Hal ini juga mengingatkan kita bahwa kebaikan yang ada pada manusia, khususnya pada orang-orang Kristen, bukan berasal dari dirinya sendiri, tetapi bersumber dari kehadiran Allah di dalam dirinya. Dengan pemahaman ini, sebetulnya sulit membuat pertanyaan, “mengapa hal buruk terjadi pada orang baik?”, karena orang baik itu tidak ada. Alkitab selalu menekankan, bahwa seseorang menjadi baik, setelah ia diselamatkan, dibenarkan, dan diampuni dosa-dosanya, bukan pada dirinya ia benar dan baik ,tetapi oleh anugerah Allah (Ef 2:8-10) .

Yang Buruk tidak Selamanya Buruk

Definisi tentang suatu yang buruk pun, dapat dipahami berbeda-beda oleh setiap orang. Bagi yang seseorang suatu peristiwa sangat buruk, namun bagi yang lain biasa-biasa saja. Selain itu, apa yang kita anggap buruk pada awalnya, ternyata justru merupakan kebaikan pada akhirnya. Bukankah kita sering mengalaminya? Dalam tragedi 11 September 2001 di New York, diceritakan tentang seorang karyawan yang sangat ketakutan dipecat dari pekerjaannya, karena ia terlambat masuk kantor hari itu, namun ketika tiba di area perkantoran, ia sudah melihat kematian ribuan orang yang ditimpa reruntuhan bangunan. Saat itu menjadi suatu rasa syukur, bukan karena menoleransi keterlambatannya, namun karena ia selamat dari tragedi itu. Demikian juga jika kita, melihat pengalaman hidup Yusuf di Alkitab, ketika penderitaannya dimulai dengan kebencian dan iri hati saudara-saudaranya. Hal itu berlanjut dengan menjual Yusuf kepada bangsa lain, dan terus menerus Yusuf berada dalam kesusahan di negeri orang. Pada akhirnya, ia sendiri yang menyimpulkan bagaiman Allah merajut yang baik melalui peristiwa buruk: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.” (Kej 50:20).

Mengapa ‘Hal Buruk’ Terjadi?

Contoh yang lebih tegas bagi lagi adalah pengalaman kehidupan Ayub. Ketika Ayub mengalami tragedi kematian sepuluh anak-anaknya, dan kehilangan semua kekayaannya, termasuk kesehatan, bahkan provokasi dari isterinya yang sangat sinis. Respon Ayub adalah, mengoyakkan jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujud dan menyembah. Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Dalam semua peristiwa itu, Alkitab menyaksikan bahwa Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut,(Ayub 1:21-23). Alkitab menyaksikan, bagaimana Ayub tidak mempersalahkan Allah dalam peristiwa itu. Ayub menerima dengan iman, bahwa Allah memang berdaulat atas setiap peristiwa, dan Allah adalah sumber pemberi segala sesuatu. Pada akhirnya, Ayub sendiri menyimpulkan, bagaimana peristiwa tragis dalam hidupnya mempertemukannya secara pribadi dengan Allah, yang Agung sang pencipta.

Beberapa hal yang dapat kita simpulkan, mengenai mengapa ‘hal buruk’ terjadi pada kehidupan orang percaya. Penderitaan dapat terjadi, sebagai cara dan alat Allah untuk menyatakan rencana, dan kehendak-Nya bagi kita. Hal yang sering dikaitkan dengan topik ini, juga adalah faktor kehendak bebas, (freewill), yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia. Kejatuhan manusia dalam dosa, (Kej. 3) memang dimungkinkan oleh karena adanya faktor freewill, namun tanpa freewill, manusia juga tidak bisa berbuat apa pun. Kasih tidak akan ada dalam diri manusia tanpa kehendak bebas, kasih menjadi indah dan sempurna, oleh karena ada kehendak bebas yang sudah dimurnikan oleh kasih Kristus di kayu salib, (Yoh 3:16; 1Yoh 4:9-10).

Hal-hal buruk atau penderitaan, dapat terjadi oleh karena hukum sebab akibat, kesalahan kita sendiri, kecerobohan, kelalaian atau kesengajaan seseorang melakukan sesuatu, yang merugikan diri sendiri atau orang lain, termasuk kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia ini. Dampak kejatuhan yang terjadi di taman Eden, juga merupakan penyebab utama penderitaan manusia, dan di sana juga Tuhan memberikan kutukan kepada manusia dan alam semesta (Kej 3:14-17). Kejahatan manusia begitu besar, dan sifatnya menyebar (Kej 6:5, Yer 17:9). Di satu sisi ada peristiwa-peristiwa yang dapat kita mengerti, dan terima sebagai cara dan alat Allah membentuk dan mengendalikan hidup kita, di sisi lain banyak misteri yang tidak dapat kita pahami. Namun Alkitab juga menegaskan, bahwa hidup yang kita miliki, adalah hidup karena anugerah dan dalam kasih Allah (Maz 103). Ketika kita tidak mampu memahami agenda Allah, atau ketika Ia mengijinkan dan membiarkan sesuatu yang “buruk” terjadi dalam hidup kita dan dalam dunia ini, maka kita harus memiliki kepekaan untuk memahami maksud-maksud Tuhan. Hanya dengan pengenalan akan Tuhan dan memahami Firman-Nya, maka kita dapat memahami maksud-maksud-Nya dalam hidup ini. Hidup penuh syukur, menerima kedaulatan-Nya dan taat pada-Nya, adalah cara terbaik menghidupi hidup yang dianugerahkan Allah. Soli Deo Gloria.

http://reformata.com/news/view/6109/mengapa-kemalangan-menimpa-orang-baik

Makna Kata ‘al-‘Iqab’ (Siksaan) Dalam al-Qur`an

05/11/2009 — Dunia pesantren

Kata ‘Iqab (Siksaan) berasal dari kata ‘Aqaba yang menunjukkan makna ‘at-Tilw (selanjutnya).’ Materi ini menunjukkan dua hal: Pertama, mengakhirkan sesuatu dan mendatangkannya setelah yang lainnya. Bila dikatakan, “Fa’altu Dzalika Bi ‘Aqibah.” Artinya aku melakukan itu di akhirnya. Sedangkan kata Ta’qib, maknanya mendatangkan sesuatu setelah yang lainnya (menanggapi). Dari asal kata inilah, Rasulullah SAW dinamakan al-‘Aqib, karena beliau mengakhiri para nabi sebelumnya. Kedua, menunjukkan peningkatan, kesulitan dan kesukaran. Dari sini terdapat kata ‘Aqabah, yang ada di gunung karena sulit mencapainya, kemudian pengertian ini dikembalikan kepada setiap hal yang mengandung kesukaran/kesulitan.

Kata ‘al-‘Iqab’ (siksaan) banyak terdapat dalam al-Qur`an, yaitu dalam 24 tempat. Di antaranya dalam surat al-Baqarah, ayat 196. Kata al-‘Aqibah terdapat dalam 31 tempat, di antaranya dalam surat al-A’raf, ayat 128, dan kata al-‘Uqba terdapat dalam 4 tempat, di antaranya dalam surat ar-Ra’d, ayat 22, dan sebagai kata kerja dalam 6 tempat, di antaranya dalam surat an-Nahl, ayat 126.

Lafazh ‘Aqaba dan derivasinya dipaparkan dalam al-Qur`an dalam 6 aspek: Pertama, dengan makna al-‘Adzab (Siksaan). Ini merupakan makna yang paling banyak digunakan dalam al-Qur`an, di antaranya firman-Nya dalam surat ar-Ra’d, ayat 32, dan semisalnya seperti firman-Nya dalam surat al-Baqarah, ayat 196.

Kedua, dengan makna al-Ghanimah (mendapatkan), di antaranya firman-Nya dalam surat al-Mumtahanah, ayat 11.

Ketiga, dengan makna al-Qatl (membunuh), di antaranya firman-Nya dalam surat al-Hajj, ayat 60. Kalimat ‘Ma ‘Uqiba bihi’ dalam ayat tersebut, bermakna Bimitsli Ma Qutila bihi (Semisal pembunuhan terhadapnya).

Keempat, dengan makna al-Mutslah, di antaranya firman-Nya dalam surat an-Nahl, ayat 126. Kalimat Bi Mitsli Ma ‘Uqibtum dalam ayat tersebut bermakna In Matstsaltum Bi Mitsli Ma Mutstsila bikum (Jika kamu menyiksa [dengan keras] seperti kamu disiksa demikian)

Kelima, dengan makna al-‘Aqibah, yakni akhir/kesudahan sesuatu. Di antaranya firman-Nya dalam surat an-Nahl, ayat 126. Kalimat ‘Aqibatuhuma dalam ayat tersebut bermakna Akhiru Amrihima (akhir/kesudahan perihal keduanya)

Keenam, dengan makna al-Uqba, yakni tempat berlindung. Kalimat ‘Uqba ad-Dardalam ayat tersebut bermakna al-Ma`wa Fi al-Akhirah (tempat berlindung di akhirat).

http://zidniagus.wordpress.com/2009/11/05/makna-kata-%E2%80%98al-%E2%80%98iqab%E2%80%99-siksaan-dalam-al-quran/

Kita merasa sakit sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam mesin maharumit nan elok, yaitu tubuh kita. Kita juga akan merasakan sakit apabila kita memaksa otot-otot kita menanggung beban melampaui batas kesanggupannya. Karena terasa sakit, kita melindungi diri dari barang-barang yang panas atau bergesekan dengan benda tajam dan sebagainya, yang mampu menyebabkan rasa sakit.

Tidak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa rasa sakit adalah merupakan salah satu cara Tuhan menghukum umatnya, bisa jadi hal ini disebabkan karena pengalaman masa kanak-kanak saat dimarahi atau bahkan dipukul orang tua ketika dianggap melakukan kesalahan atau keyakinan bahwa semua hal yang tidak menyenangkan yang menimpa diri seseorang adalah hukuman atas perbuatannya. Tetapi rasa sakit bagi saya secara pribadi, tidak menandakan bahwa Tuhan tengah menghukum umatnya. Karena bagaimanapun, rasa sakit merupakan cara alam memperingatkan orang-orang baik maupun orang-orang jahat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Hidup ini mungkin terasa tidak menyenangkan sebab kita dapat menjadi sasaran rasa sakit. Seseorang yang tengah menderita sakit gigi misalnya, dapat dipastikan tidak dapat menikmati indahnya film romantis, lezatnya makanan atau sensasi-sensasi lainnya, karena ‘rasa’ sakit giginya melebihi indahnya film romantis atau makanan yang terlezat sekalipun. Tetapi hidup ini akan menjadi sangat berbahaya, atau bahkan kita tidak mungkin hidup, andaikata kita tidak merasakan sakit. Karena rasa sakit merupakan harga yang harus kita bayar justru karena kita hidup.

Rasa sakit karena patah tulang atau tersengat api merupakan respon sakit pada taraf binatang. Maksud saya, binatang-binatang pun merasakan jenis rasa sakit itu, seperti kita. Untuk merasa sakit karena tertusuk benda tajam, kita tidak perlu memiliki akal budi. Ada rasa sakit pada taraf lain yang hanya dapat dirasakan manusia. Hanya manusia yang dapat menemukan makna pada rasa sakit yang dialaminnya.

Seseorang yang sedang mangalami sakit ‘hati’ misalnya, biasanya akan rela melakukan apa saja agar pengalaman itu tidak terulang lagi. Berbeda halnya dengan seorang perempuan yang harus merasakan sakit sewaktu melahirkan-seperti halnya seorang pelari yang telah memeras tenaganya untuk mencapai garis finis dan menjadi juara-dapat mengatasi rasa sakitnya dan segera berpikir untuk mengulangi kembali pengalaman itu.

Ada sebuah Peristiwa yang untuk saya merupakan rasa sakit terberat yang pernah saya alami sepanjang perjalanan hidup saya. Rasa sakit saat dimana saya kehilangan ayah saya, kehilangan untuk selama-lamanya disaat saya masih berusia cukup muda, 15 tahun. Ada kekosongan atau kehampaan yang tiba-tiba menyerang saya, sehingga rasa sakit itu benar-benar terasa sekali.

Sulit bagi saya untuk memulai sesuatu yang baru, sehingga butuh waktu yang cukup lama, cukup lama untuk memulihkan keadaan saya. Keadaan dimana saat kami terbiasa berkumpul sekeluarga, dan merasa semuanya baik-baik saja. Saya sendiri tidak tahu kenapa bisa sesakit itu. Rasa sakit itu sampai saat ini masih saya rasakan disaat-saat ketika saya merasa memiliki sesuatu, walaupun sedikit, dan ingin saya bagikan kepada keluarga atau saat saya berpikir tentang masa lalu saya dan berandai-andai apakah yang akan terjadi di kehidupan saya sekarang jika keadaannya berbeda.

Pertanyaan yang sering kali muncul disaat seseorang mengalami rasa sakit, entah itu mereka yang terkena penyakit kanker, mereka yang mengalami perceraian, atau yang mengalami hal serupa seperti yang saya rasakan dan rasa sakit lainnya adalah mengapa harus saya? Kenapa ini terjadi? Apa saya lebih pantas? Apa salah saya sudah begitu beratnya? Dan sebagainya, mungkin juga pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang ada di benak Ibu Sri Mulyani ketika menghadapi skandal Bank Century ^_^.

Untuk saya secara pribadi ketika mengalami rasa sakit yang saya derita, tidak ada satupun jawaban yang dapat memuaskan dan menenangkan rasa sakit saya. Karena semua jawaban tetap tidak bisa mengembalikan ayah saya. Jawaban terbaik yang saya ketahui untuk rasa sakit saya adalah dengan membayangkan betapa jadinya dunia ini jika setiap manusia hidup selamanya. Maka dunia akan penuh sesak. Dalam dunia manusia hidup untuk selamanya, mungkin saya tidak akan pernah dilahirkan karena dunia sudah kelewat penuh.

Rasa sakit merupakan harga yang harus kita bayar justru karena kita hidup. Apabila kita memahami hal ini, maka pertanyaan kita akan berubah, dari “mengapa ini terjadi?” menjadi “apa yang bisa saya lakukan sekarang dan setelah ini?”. Berdasarkan pengalaman saya, rasa sakit menyebabkan seseorang menjadi lebih peka dan penuh belas kasih terhadap orang lain atau justru sebaliknya menjadi pendengki dan mudah iri terhadap orang lain. Artinya, yang menjadikan pengalaman menyakitkan tertentu bermakna, sedangkan pengalaman menyakitkan lainnya kosong atau bahkan merusak adalah akibat rasa sakit itu, bukan penyebabnya.

Bagaimana kita dapat mengubah suatu pengalaman menyakitkan seperti pengalaman seorang Ibu sewaktu melahirkan adalah contoh yang paling bijak dalam memaknai rasa sakit. Rasa sakit adalah bagian dari kehidupan kita, bukan karena Tuhan menghendakinya, tetapi karena kodrat kita sebagai mahluk hidup. Selamat menikmati rasa sakit anda dan menjadikannya pengalaman yang indah serta bermakna.

http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/26/memaknai-rasa-sakit/

SUMBER PENDERITAAN

Hidup adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, perpisahan dari yang dicintai ialah penderitaan, tidak mendapatkan yang diinginkan ialah penderitaan. Bukankah penderitaan itu disebabkan karena adanya unsur kemelekatan.

Penderitaan bukanlah diri Anda, itu hanyalah sensasi yang diterima oleh Anda. Saat Anda bisa memisahkan antara diri Anda dengan penderitaan itu, saat itulah Anda sudah melepaskan kemelekatan keakuan (ego). Saat itulah berakhirnya penderitaan. Jadi sumber penderitaan itu berasal dari diri Anda sendiri yang menggap bahwa “ Anda menderita”..Saat Anda terus melekatkan diri anda dengan penderitaan itu, semakin Anda akan merasa bahwa Anda adalah orang yang paling menderita.

Perasaan bukanlah penderitaan. Penderitaan ialah menggenggam nafsu-keinginan. Nafsu keinginan tidak menyebabkan penderitaan; penyebab penderitaan adalah menggenggam nafsu-keinginan. Pernyataan ini untuk refleksi dan renungan dalam pengalaman pribadi anda.

Anda tak mungkin memiliki penderitaan yang absolut dan kemudian ada jalan-keluarnya bukan?

Coba sekarang pandang dan rasakan rasa sakit dan kesedihan yang Anda rasakan, bukan dari sudut pandang ‘milik saya’ melainkan sebagai suatu refleksi: ’Ini ada penderitaan.’ Pengetahuan ini hanyalah sesederhana pengakuan adanya penderitaan tanpa menjadikannya sebagai sesuatu yang pribadi (personal). Pengakuan ini adalah pengetahuan yang penting, yakni: hanya memandang kesedihan mental atau penderitaan fisik dan melihatnya sebagai penderitaan daripada kesengsaraan pribadi – sekedar melihatnya sebagai penderitaan begitu saja, bukan malah bereaksi terhadapnya.

Kebenaran ini diungkapkan dengan sangat jelas: “Ada penderitaan”, bukannya, ‘Saya menderita.’ Secara psikologis, refleksi ini merupakan cara yang lebih baik untuk mengungkapkannya. Kita cenderung untuk mengartikan penderitaan kita sebagai ‘Saya benar-benar menderita. Saya sangat menderita — dan saya tidak ingin menderita.’ — Ya beginilah cara berpikir kita terkondisi.

‘Saya menderita’ selalu membawa makna bahwa ‘Saya adalah orang yang sangat menderita. Penderitaan ini adalah milik saya; saya memiliki banyak penderitaan dalam hidup saya.’ Kemudian seluruh proses kait-mengkait antara diri sendiri dengan ingatan berlangsung.

Perhatikanlah bahwa sekarang kita tidak lagi mengatakan ada orang yang menderita. Maka penderitaan bukan lagi suatu penderitaan personal (pribadi) ketika kita memandangnya sebagai ‘Ini ada penderitaan.’ Untuk lepas dari penderitaan kita harus mengakuinya dalam kesadaran.

Anda tidak akan pernah bisa dapat mengetahui perbedaan antara “ saya menderita”, dengan “ ini ada penderitaan”, tanpa Anda mempraktekkannya dan merasakannya langsung!”

‘Ini ada penderitaan’ merupakan pengetahuan-kebijaksanaan yang pertama. Pengetahuan apakah itu? Kita tidak perlu membuatnya menjadi sesuatu yang luar biasa, ini adalah sekedar mengenali: ‘Ada penderitaan.’ Inilah pengetahuan kebijaksanaan yang mendasar.

Tahap berikutnya adalah “ Penderitaan itu harus dimengerti.” Anda harus memahami penderitaan [terlebih dahulu], tidak hanya berusaha untuk menghilangkannya. Terhadap penderitaan baik fisik maupun mental biasanya kita hanya bereaksi, namun dengan pemahaman kita bisa benar-benar memandang penderitaan; sungguh-sungguh menerimanya, sungguh-sungguh memegangnya serta merangkulnya.

Ketika Anda benar-benar melihat sumber penderitaan, Anda akan merealisasi bahwa permasalahannya adalah penggenggaman (grasping) nafsu-keinginan bukan nafsu-keinginan itu sendiri. Menggenggam artinya dibohongi oleh nafsu-keinginan, berpikir bahwa inilah ‘aku’ dan ‘milikku’: ‘Nafsu-keinginan ini adalah saya dan ada sesuatu yang salah dalam diri saya karena memilikinya’;

atau, ‘Saya tidak suka diri saya yang sekarang. Saya harus menjadi sesuatu yang lain’; atau, ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu dulu sebelum saya bisa menjadi apa yang saya inginkan.’ Semua ini adalah nafsu-keinginan. Jadi pandanglah semua hal apa adanya.

Ketika kita mengkontemplasikan dan dengan cermat mendengarkan nafsu-keinginan, maka kita tidak lagi melekat padanya; kita hanya membiarkan mereka sebagaimana adanya. Kemudian kita sampai pada realisasi bahwa sumber penderitaan, nafsu-keinginan, dapat dikesampingkan dan dibiarkan berlalu,

Bagaimana anda membiarkannya berlalu? Caranya dengan membiarkannya sebagaimana adanya; ini bukan berarti Anda memusnahkan atau membuangnya, melainkan lebih pada meletakkan dan membiarkannya sendiri. Melalui latihan melepas, kita menyadari keberadaan sumber penderitaan, yaitu kemelekatan pada nafsukeinginan, dan kita sadar bahwa kita harus melepas nafsu-keinginan ini. Kemudian kita menyadari bahwa kita telah melepas nafsu-keinginan ini, dan tiada lagi kemelekatan padanya.

Ketika anda menyadari diri anda sedang melekat pada sesuatu, ingatlah bahwa ‘melepas’ tidak sama dengan ‘menyingkirkan’ atau ‘membuang’. Bila saya sedang memegang sebuah jam dan Anda berkata, ‘Lepaskan jam itu!’, perkataan anda bukan berarti ‘buang’. Boleh jadi saya berpikir bahwa saya harus membuangnya karena saya melekat padanya, tetapi ini pun hanyalah nafsu-keinginan untuk menyingkirkan. Kita cenderung berpikir bahwa menyingkirkan objek merupakan cara untuk menyingkirkan kemelekatan. Tetapi bila saya dapat merenungkan kemelekatan, penggenggaman jam ini, saya menyadari bahwa tiada artinya berusaha menyingkirkannya — jam ini bagus; tepat waktu dan tidak

berat untuk dibawa-bawa. Jam ini bukanlah masalahnya.

Jadi apa yang saya lakukan? Lepaskan, kesampingkan, letakkan dengan lembut tanpa ada kebencian. Kemudian saya boleh mengambilnya lagi, melihat pukul berapa saat itu serta kembali meletakkannya bila perlu.

Bagaimana cara mengesampingkan nafsu-keinginan ini tanpa menimbulkan kebencian? Sangat sederhana: sekedar kenalilah saja tanpa menilai atau mengadilinya. Anda dapat mengkontemplasikan keinginan untuk menyingkirkannya karena Anda merasa bersalah memiliki nafsu yang bodoh ini tetapi kesampingkan saja. Anda tidak lagi melekat padanya ketika anda melihatnya sebagaimana adanya, mengenalinya hanya sebagai nafsu-keinginan.

Jadi caranya adalah dengan selalu berlatih setiap waktu dalam kehidupan sehari-hari.

Bilamana anda sedang merasa tertekan dan negatif, begitu di saat anda menolak larut tenggelam dalamnya, inilah pengalaman yang mencerahkan. Ketika anda melihat-nya, anda tak perlu tenggelam dalam lautan depresi dan keputusasaan. Anda sebenarnya bahkan dapat stop dengan belajar untuk tidak

menimbang-ulang tentangnya sedikitpun.

Anda harus memahaminya sendiri melalui latihan sehingga anda dapat mengetahui sendiri bagaimana cara melepas sumber penderitaan. Dapatkah anda melepas nafsu-keinginan dengan ingin melepaskannya? Apakah yang sebenarnya melepas pada saat itu? Anda harus merenungkan pengalaman melepas dan benar benar meneliti dan menyelidiki sampai pengetahuan kebijaksanaan timbul. Teruskan sampai insight itu timbul: ‘Ah, melepas, ya, sekarang saya mengerti. Nafsu-keinginan telah dilepas.’ Bukan berarti bahwa dengan ini anda bisa melepas nafsu-keinginan selamanya, tetapi pada saat itu, anda benar-benar telah melepas dan anda telah melakukannya dengan kesadaran perhatian penuh.

Bila Anda berusaha untuk menganalisa pelepasan secara mendetail, anda dapat terjebak dengan membuatnya menjadi sangat rumit. Pelepasan bukanlah sesuatu yang dapat Anda pikirkan dalam kata-kata, melainkan sesuatu yang Anda lakukan. Demikian pula caranya untuk melepas dengan masalah dan obsesi pribadi.

Caranya bukanlah dengan menganalisa dan menambah permasalahan dari yang sudah ada, tetapi melatih keadaan meninggalkannya sendirian, melepasnya. Pada mulanya, Anda melepas tetapi kemudian mengambilnya kembali karena kebiasaan memegang yang kuat. Tetapi paling tidak anda menangkap maksudnya.

Adalah penting untuk mengetahui bahwa anda telah melepas nafsu-keinginan: ketika anda tak lagi menilai atau berkeras buat menyingkirkannya; kala anda mengenali bahwa ya demikianlah adanya . Ketika anda benar-benar tenang dan damai, maka anda akan menemukan bahwa tiada kemelekatan pada apapun.

Anda tidak terperangkap, berusaha untuk memperoleh atau menyingkirkan sesuatu. Kewarasan itu hanyalah sekedar mengetahui sesuatu sebagaimana adanya tanpa merasa perlu untuk mengadili atau membuat penilaian ini-itu tentangnya. Kita selalu mengatakan, ‘Ini mestinya tidak begini!’, ‘Saya tidak seharusnya berlaku begini!’ dan, ‘Anda seharusnya tidak begini atau begitu!’, dan seterusnya.

Kita merefleksi tatkala kita melihat penderitaan, sifat nafsu-keinginan dan ketika kita mengenali bahwa kemelekatan pada nafsu-keinginan adalah penderitaan. Maka kita memiliki pengetahuan-kebijaksanaan (insight) untuk membiarkan sang nafsu berlalu serta merealisasi ketidak-menderitaan, dan saat itu berakhirnya penderitaan.

Pengetahuan ini hanya dapat timbul melalui refleksi, bukan melalui sekedar percaya. Anda tidak dapat membuat diri anda yakin atau merealisasi kebijaksanaan dengan sengaja. Dengan benar-benar merenung dan memikirkan

kebenaran inilah maka pengetahuan timbul dalam diri Anda. Kebijaksanaan ini timbul hanya melalui pikiran yang terbuka dan siap menerima ilmu ini.

Pikiran harus siap menerima, meneliti dan mempertimbangkan. Keadaan mental ini sangat penting. Inilah jalan keluar dari penderitaan. Ini bukanlah pikiran yang berpandangan kaku dan penuh prasangka serta merasa mengetahui segalanya Ini adalah pikiran yang terbuka yang dapat berefleksi terhadap sesuatu yang bisa kita lihat dalam pikiran kita.

Orang jarang merealisasi ketidak-menderitaan karena dibutuhkan tekad istimewa buat merenung, menyelidiki dan melampaui yang kasar dan yang seakan sudah jelas. Dibutuhkan kemauan untuk benar-benar melihat reaksi-reaksi anda sendiri, untuk mampu melihat kemelekatan serta merenung: ‘Seperti apakah rasanya kemelekatan?’

“Sebelum Anda dapat melepas sesuatu, anda harus mengakuinya dengan Kesadaran penuh”.

Sangat penting untuk membedakan antara “berakhirnya” dengan “pemusnahan”, yakni nafsu untuk menyingkirkan sesuatu.Berakhirnya adalah akhir alami dari segala kondisi apapun yang muncul. Jadi ini bukan nafsu-keinginan! Berakhirnya bukanlah sesuatu yang kita ciptakan dalam pikiran melainkan akhir dari sebuah awal,

Oleh karena itu berakhirnya bukan diri. Ini tidak datang dari perasaan ‘Saya harus menyingkirkan sesuatu,’ tetapi adalah tatkala kita membiarkan apa yang muncul untuk lenyap. Untuk melakukannya maka kemelekatan harus ditinggalkan – dibiarkan berlalu. Meninggalkan bukan berarti menolak atau membuangnya melainkan sekedar melepas membiarkannya berlalu. Kemudian ketika kemelekatan atau kecanduan lenyap, anda mengalami kekosongan, ketidak-melekatan. Ketika Anda telah melepas sesuatu dan membiarkannya lenyap, maka yang tersisa adalah kedamaian.

Dalam kekosongan (emptiness), semua adalah sekedar sebagaimana adanya. Ketika kita sadar dengan cara ini, bukan berarti kita menjadi acuh tak acuh pada kesuksesan atau kegagalan dan tak melakukan apapun. Kita dapat menerapkankan diri kita sendiri. Kita tahu apa yang dapat kita lakukan; kita tahu apa yang harus dilakukan dan kita bisa melakukannya dengan cara yang baik. Kemudian semuanya menjadi apa adanya. Kita melakukan sesuatu karena itu adalah sesuatu yang tepat untuk dilakukan pada saat ini dan di sini bukan karena ambisi pribadi atau takut akan kegagalan tetapi karena suatu kesadaran.

http://id-id.facebook.com/notes/private-room/apa-itu-penderitaan-darimana-sumber-penderitaan-itu-datang-kapan-berakhirnya-pen/228131703917086

UPAYA MENGHINDARKAN PENDERITAAN

Penderitaan jiwa, berat maupun ringan, sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di zaman modern ini. Sadar atau tak sadar, banyak orang merasakan penderitaan dan rintihan dalam batinnya. Terhibur dalam keramaian tapi gelisah dalam kesendirian, menjerit dalam kesunyian, menemukan orang yang tepat untuk curhat sulit, orang tua tidak mengerti. Problem ini dirasakan termasuk oleh orang-orang yang taat menjalankan kehidupan ritual agamanya sehari-hari. Dalam keramaian seperti tak ada masalah, ceria, riang dan gembira, tapi dalam kesendirian dan kesunyian, batinnya menjerit karena masalah tak hilang-hilang, beban perasaan terasa berat, stres oleh pekerjaan yang menumpuk, jodoh tak kunjung datang, uang dan materi berlimpah tapi tak ada ketenangan hidup, makanan banyak tapi tak ada kenikmatan dst. Akhirnya, tak betah di rumah, asing dengan diri sendiri, hidup merasa tak bermakna. Kebahagiaan tidak tahu entah ada dimana.

Apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah seperti ini? Umumnya kita melakukan tiga berikut ini: Pertama, refresing dalam berbagai bentuknya seperti rekreasi, hiburan, nonton, olah raga, jalan-jalan, kumpul-kumpul, nongkrong di café, belanja menghabiskan waktu dan uang. Kedua, menyibukkan diri dalam berbagai aktifitas yang diharapkannya bisa melupakan problem-problem hidupnya untuk sementara. Ketiga, menghukum dirinya dengan duduk berjam-jam depan komputer menghabiskan waktu dengan main game, chatting atau yang paling populer sekarang, fesbukan. Ditulislah status-status yang berisi kalimat-kalimat indah, puisi atau curhat yang mengkespresikan penderitaan jiwa yang sedang dialaminya: tentang kehampaan hidup, ketiadaan cinta, kesendirian, kekecewaan dan lain-lain. Dengan cara-cara itu ia berharap penderitaannya akan berkurang atau hilang. Tapi kenyataan tidak, masalah tetap saja muncul dan muncul lagi. Mengatasi penderitaan jiwa kepada aktivitas-aktivitas hiburan seperti itu karena kebingungannya harus bagaimana dan melakukan apa. Masalah tetap saja lestari. Akhirnya, tindakan menjadi salah kaprah. Yang menderita jiwa, yang diobatinya fisik. Sumber masalahnya dalam batin, tapi yang kita lakukan tindakan-tindakan lahir. Yang merasakannya hati tapi jawabannya adalah fikiran atau tindakan-tindakan rasional. Ibaratnya, motor rusak dibawa ke puskesmas, sakit gigi datang ke bengkel, demam pergi ke tukang jahit. Akhirnya, masalah tidak hilang-hilang!

Mengatasi penderitaan jiwa dengan bentuk-bentuk hiburan tidak akan menyelesaikan apa yang sedang kita rasakan. Yang kita dapatkan dari hiburan hanyalah kegembiraan atau kesenangan sesaat yang ketika pulang ke rumah atau kembali pada kesendirian, derita-derita itu datang lagi. Begitulah seterusnya. Karena sudah menjadi sistem kesadaran yang berlangsung lama, akhirnya penderitaan muncul terus-menerus. Di hadapan orang, mungkin penderitaan itu bisa kita sembunyikan, kita seolah biasa-biasa saja, tapi hati tidak bisa dipungkiri apalagi saat-saat menyendiri. Derita-derita itu sungguh sangat menyiksa.

Tidak Tepat Terapi

Salah terapi membuat masalah tidak sembuh-sembuh sehingga penderitaan datang terus-menerus. Setiap masalah yang dialami manusia ada sebab dan akar-akarnya sendiri. Karena itu, proses penyembuhannya pun berbeda satu sama lain. Penyembuhan dengan pendekatan agama secara umum, misalnya dengan memperbanyak dzikir, shalat sunat atau sabar dan tawakkal tidak akan menyelesaikan masalah karena itu semua tidak mengungkap akar-akar masalahya. Ibaratnya, harusnya datang ke dokter spesialis tapi kita datang ke dokter umum.

Mengatasi kesulitan hidup yang memproduksi keluhan-keluhan jiwa bukan dengan sabar dan tawakal yang sering diartikan menerima dengan pasif atau dengan wirid/dzikir sekian ribu kali, istikharah, puasa senin-kamis, tahajjud atau baca asma ul-husna dengan bilangan tertentu. Semua praktek itu untuk menenangkan jiwa bukan untuk menyelesaikan masalah. Banyak mengingat Allah dengan berdzikir itu untuk menenangkan hati: “Ala bidzikrillahi tathma’innul qulub” (Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang), bukan untuk membereskan masalah hingga selesai dan tidak muncul lagi. Buktinya, banyak orang rajin berdzikir tapi mental buruknya tetap saja tidak hilang, banyak orang shalatnya rajin tapi ketika mengejar keinginan tetap saja menghalalkan segala cara, banyak orang sabar dan tawakkal tetap saja jodohnya tidak datang, orang rajin puasa sunat tapi tetap saja kesadaran hidupnya rendah. Bukan ritual agamanya yang salah, tapi antara masalah dengan penyelesaian tidak nyambung, bukan ibadah yang salah, tapi pengobatan tidak tepat.

Shalat sunat, puasa sunat atau dzikir adalah ibadah tambahan untuk melengkapi atau menyempurnakan ibadah-ibadah wajib yang banyak kekurangannya atau yang kita kerjakan tidak maksimal. Ibadah-ibadah sunah itu kita laksanakan sebagai ketaatan pada nabi untuk mencontoh perilaku dan kebiasaan beliau sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah). Kalau pun berdampak pada berkurangnya beban masalah atau kesembuhan penyakit, itu karena kasih sayang Allah saja, bukan oleh ibadah-ibadah itu, dan bukan untuk tujuan menyelesaikan masalah kita beridabah kepada Tuhan.

Bagaimana Mengatasi Masalah yang Tepat?

Ketika penderitaan-penderitaan jiwa menghimpit seseorang pengobatannya bukan dengan memperbanyak dzikir, wirid atau membaca asma ul-husna, apalagi refreshing ke tempat-tempat hiburan. Yang seharusnya dilakukan adalah merenung dan merenung, menghisab diri (introspeksi) atas semua kesalahan, dosa, pembangkangan dan pelanggaran-pelanggaran agama yang pernah dilakukan. Tapi, ini agak sulit. Tidak mudah orang menemukan dan menyadari kesalahan-kesalahannya sendiri. Maka, cara yang benar adalah carilah orang yang bisa memberikan nasehat!! Tanyakanlah mengapa masalah demi masalah datang tak habis-habisnya, kemudian duduk, diam dan dengarkan orang yang menasehati kita.

Orang yang diminta nasehat harus orang yang tepat: yang bersih hatinya, lurus hidupnya, jernih pandangannya, taat agamanya, satu kata antara hati dan perbuatannya, bisa menguasai hawa nafsunya dan tidak mencintai dunia. Dan yang penting dicatat, bukan orang (termasuk kiayi atau ahli hikmah) yang memberikan resep-resep instan agar masalah cepat selsesai, tapi yang bisa menguraikan kesalahan-kesalahan kita, membeberkan kelemahan dan kekurangan kita, yang menunjukkan keburukan-keburukan kita, yang semua menjadi penyebab yang tidak disadari (hijab ruhani) munculnya penyakit-penyakit dalam diri kita, lahir maupun batin.

Mencari orang seperti itu tidak susah bila ada kemauan. Malas atau membayangkan sulit mencarinya adalah penghalang pertama dari kesembuhan. Cara untuk menemukan orang seperti itu adalah dengan menghidupkan kepekaan hati atau qalbu kita: siapakah dalam lingkungan pergaulan kita, atau yang pernah kita kenal atau kita dengar memiliki atau paling dekat dengan sifat-sifat yang disebutkan di atas. Kuburkanlah status sosial kita saat mencari orang seperti itu, jauhkanlah kesombongan karena kebenaran tak ditemukan melalui gengsi dan keangkuhan. Semakin mampu kita menguburkan egosime dan kesombongan, semakin rendah memandang diri sendiri, semakin merasa diri penuh dengan kelemahan dan kekurangan bahkan kehinaan, Insya Allah, “antena” kita makin kuat untuk menangkap sinyal dimana orang yang layak memberikan nasehat itu berada. Dan itu tak selalu berhubungan dengan ketenaran, usia, sebutan kiayi, ustadz dan sebagainya.

Bila sudah menemukannya, datangi lalu pintalah nasehatnya. Tanyakanlah mengapa kita selalu banyak masalah. Tanyakanlah mengapa kita terpuruk, mengapa kita jatuh, mengapa kita stres, mengapa kita tidak dihormati orang, mengapa sulit mencari jodoh, mengapa anak-anak di rumah tidak hormat dan sulit diatur dst. Tanyakanlah kesalahan dan keburukan apa yang kita lakukan. Ketika nasehat diberikan, praktekkanlah rumus 3D: duduk, diam, dengarkan! Hanya itu yang patut kita lakukan saat mendengarkan nasehat. Janganlah pernah membantah nasehat dengan penjelasan dan kata-kata, dengan pikiran, dengan argumen, bela diri dan apologi. Bila itu ditunjukkan, itulah penghalang kedua dari kesembuhan.

Penyakit umum kita adalah membantah nasehat dan banyak menjelaskan. Buanglah jauh-jauh kedua sifat itu. Argumen dan penjelasan diperlukan dalam kegiatan diskusi bukan saat menerima nasehat. Salah satu problem akut manusia modern adalah sulitnya menundukkan hati untuk mendengarkan nasehat dengan rendah hati, tawadhu dan pengakuan kesalahan. Bila rumus 3D itu dijalankan, Insya Allah, jawaban dari persoalan-persoalan hidup yang kita rasakan akan berkurang kemudian hilang. Mengapa? Karena kita melakukan secara tepat tiga hal: benar memahami masalah diri, benar kemana kita harus datang, dan benar apa yang harus kita lakukan. Tepat identifikasi masalah, tepat cara/metoda dan tepat langkah, pasti akan mendatangkan tepat hasil.[] Wallahu’alam!

http://akiliblogspotc.blogspot.com/2011/11/upaya-menghindari-penderitaan.html”

MAKNA KEADILAN

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadîd [57]: 25).

Makna keadilan secara syar’i sesuai surah diatas yakni memutuskan segala sesuatu berdasarkan Allah SWT dan rasul-Nya yakni al-Qur’an dan as-sunnah. Sehingga adil bukan hanya membagi sesuatu sama banyaknya. Adil ketika mengharamkan khamr dan tidak adil mengizinkan menjualnya di Supermarket. Adil ketika menghukum penzina muhshan dengan rajam dan tidak adil menghukumnya di penjara. Adil ketika melarang berlakunya bunga riba dan tidak adil membolehkan bunga riba. Begitu seterusnya.

Sedangkan dzalim secara syar’iy adalah ketika seseorang mempunyai kemampuan untuk menjalankan syari’at Allah swt tetapi tidak dijalankannya, sehingga kedzaliman datang kedunia melalui 3 pintu: (lihat Mahabbah Ilahiyah, Syahhat bin Mahmud Ash-Shawi, hal 228-231)

1. Berhukum kepada selain hukum Allah SWT.

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 45).

Ketika seorang penguasa membawa rakyatnya menghambakan kepada hukum manusia dan mengabaikan hukum Allah SWT, maka ia telah berbuat dzalim kepada diri dan rakyatnya. Karena pada dasarnya syari’at Allah SWT bisa diterapkan dalam kondisi apapun dan mampu menyelamatkan umat manusia di dunia dan akhirat. Dengan demikian dia telah menuhankan dirinya dan rakyatnya menghambakan diri kepadanya.

2. Menghalangi manusia dari jalan Allah SWT.

“Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dzalim, (yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat.” (Qs. al-A’râf [7]: 44-45).

Menghalangi manusia dari jalan Allah SWT yakni ketika menolak melaksanakan perintah Allah SWT atau mencegah manusia melaksanakannya. Mereka tetap menginginkan jalan yang bengkok, bukan jalan Islam yang lurus, dengan demikian mereka dapat memuaskan hawa nafsunya.

3. Melanggar aturan Allah SWT.

“Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (Qs. al-Baqarah [2]: 229).

Jika diamati ayat-ayat diatas maka kedzaliman terjadi ketika seseorang mempunyai kekuasaan tetapi dia mengabaikan dijalankannya hukum-hukum Allah SWT. Adalah dzalim ketika suami yang menjadi pemimpin keluarga melarang istrinya berjilbab, adalah dzalim ketika penguasa membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya karena penguasa adalah pelayan urusan umat (ri’ayatusy-syûn), adalah dzalim ketika penguasa menjalankan hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum Allah SWT. Sehingga penguasa seperti ini tidak boleh didukung karena tidak ada keta’atan dalam bermaksiat kepada Allah SWT.

“Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam hal kemaksiatan kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu dalam hal kebaikan.” [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i].

Juga, Rasulullah Saw mengancam bahwa yang mendukungnya bukan termasuk dari golongan beliau.

Sesungguhnya Nabi bersabda kepada Ka’ab, “Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan yang bodoh.” Ka’ab bertanya, “Apakah pemerintahan bodoh itu?” Rasul menjawab, “Mereka adalah para penguasa (pemerintah) yang ada sesudahku. Mereka tidak menjalankan petunjukku, tidak menerangi jalan pemerintahannya dengan sunnahku. Barangsiapa membenarkan kebohongannya dan memberi dukungan atas kezalimannya, maka bukanlah mereka dari golonganku dan aku bukan dari golongan mereka.” [HR. at-Tirmidzi].

Sehingga jelas sudah bahwa keadilan dan kedzaliman bagaikan minyak dan air, tak mungkin bisa bersatu. Wallahua’lam

http://forum.dudung.net/index.php?topic=548.0

MAKNA KEJUJURAN DAN KEBENARAN

Jujur adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman, baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan sebagainya.

Jujur merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Nabi bersabda,

“Senantiasalah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

Definisi Jujur

Jujur bermakna keselarasan antara berita dengan kenyataan yang ada. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalau tidak, maka dikatakan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan, sebagaimana seorang yang melakukan suatu perbuatan, tentu sesuai dengan yang ada pada batinnya. Seorang yang berbuat riya’ tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia telah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang dia sembunyikan (di dalam batinnya). Demikian juga seorang munafik tidaklah dikatakan sebagai seorang yang jujur karena dia menampakkan dirinya sebagai seorang yang bertauhid, padahal sebaliknya. Hal yang sama berlaku juga pada pelaku bid’ah; secara lahiriah tampak sebagai seorang pengikut Nabi, tetapi hakikatnya dia menyelisihi beliau. Yang jelas, kejujuran merupakan sifat seorang yang beriman, sedangkan lawannya, dusta, merupakan sifat orang yang munafik.

Imam Ibnul Qayyim berkata, Iman asasnya adalah kejujuran (kebenaran) dan nifaq asasnya adalah kedustaan. Maka, tidak akan pernah bertemu antara kedustaan dan keimanan melainkan akan saling bertentangan satu sama lain. Allah mengabarkan bahwa tidak ada yang bermanfaat bagi seorang hamba dan yang mampu menyelamatkannya dari azab, kecuali kejujurannya (kebenarannya).

Allah berfirman,

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. al-Maidah: 119)

“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zumar: 33)

Keutamaan Jujur

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi,

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan.”

Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.

Sifat jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.

Kejujuran senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Nabi, beliau bersabda,

“Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”

Dalam kehidupan sehari-hari –dan ini merupakan bukti yang nyata– kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya kebahagian dunia dan akherat.

Tidaklah kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya, memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya. Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan seorang pendusta.

Orang yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia. Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab, memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca, berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya. Kesaksiaannya merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam salatnya, zakatnya, puasanya, hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah. Menyampaikan kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan kepada orang yang berhak.

Seorang yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan. Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar, sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)

“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (QS. al-Maidah: 119)

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)

Nabi bersabda, “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu, sesungguhnya kejujuran, (mendatangkan) ketenangan dan kebohongan, (mendatangkan) keraguan.”

Macam-Macam Kejujuran

1. Jujur dalam niat dan kehendak. Ini kembali kepada keikhlasan. Kalau suatu amal tercampuri dengan kepentingan dunia, maka akan merusakkan kejujuran niat, dan pelakunya bisa dikatakan sebagai pendusta, sebagaimana kisah tiga orang yang dihadapkan kepada Allah, yaitu seorang mujahid, seorang qari’, dan seorang dermawan. Allah menilai ketiganya telah berdusta, bukan pada perbuatan mereka tetapi pada niat dan maksud mereka.

2. Jujur dalam ucapan. Wajib bagi seorang hamba menjaga lisannya, tidak berkata kecuali dengan benar dan jujur. Benar/jujur dalam ucapan merupakan jenis kejujuran yang paling tampak dan terang di antara macam-macam kejujuran.

3. Jujur dalam tekad dan memenuhi janji. Contohnya seperti ucapan seseorang, “Jikalau Allah memberikan kepadaku harta, aku akan membelanjakan semuanya di jalan Allah.” Maka yang seperti ini adalah tekad. Terkadang benar, tetapi adakalanya juga ragu-ragu atau dusta. Hal ini sebagaimana firman Allah:

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (QS. al-Ahzab: 23)

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman,

“Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (QS. at-Taubah: 75-76)

4. Jujur dalam perbuatan, yaitu seimbang antara lahiriah dan batin, hingga tidaklah berbeda antara amal lahir dengan amal batin, sebagaimana dikatakan oleh Mutharrif, “Jika sama antara batin seorang hamba dengan lahiriahnya, maka Allah akan berfirman, ‘Inilah hambaku yang benar/jujur.’”

5. Jujur dalam kedudukan agama. Ini adalah kedudukan yang paling tinggi, sebagaimana jujur dalam rasa takut dan pengharapan, dalam rasa cinta dan tawakkal. Perkara-perkara ini mempunyai landasan yang kuat, dan akan tampak kalau dipahami hakikat dan tujuannya. Kalau seseorang menjadi sempurna dengan kejujurannya maka akan dikatakan orang ini adalah benar dan jujur, sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hujurat: 15)

Realisasi perkara-perkara ini membutuhkan kerja keras. Tidak mungkin seseorang manggapai kedudukan ini hingga dia memahami hakikatnya secara sempurna. Setiap kedudukan (kondisi) mempunyai keadaannya sendiri-sendiri. Ada kalanya lemah, ada kalanya pula menjadi kuat. Pada waktu kuat, maka dikatakan sebagai seorang yang jujur. Dan jujur pada setiap kedudukan (kondisi) sangatlah berat. Terkadang pada kondisi tertentu dia jujur, tetapi di tempat lainnya sebaliknya. Salah satu tanda kejujuran adalah menyembunyikan ketaatan dan kesusahan, dan tidak senang orang lain mengetahuinya.

Khatimah

Orang yang selalu berbuat kebenaran dan kejujuran, niscaya ucapan, perbuatan, dan keadaannya selalu menunjukkan hal tersebut. Allah telah memerintahkan Nabi untuk memohon kepada-Nya agar menjadikan setiap langkahnya berada di atas kebenaran sebagaimana firman Allah,

“Dan katakanlah (wahai Muhammad), ‘Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. al-Isra’: 80)

Allah juga mengabarkan tentang Nabi Ibrahim yang memohon kepada-Nya untuk dijadikan buah tutur yang baik.

“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (QS. asy-Syu’ara’: 84)

Hakikat kejujuran dalam hal ini adalah hak yang telah tertetapkan, dan terhubung kepada Allah. Ia akan sampai kepada-Nya, sehingga balasannya akan didapatkan di dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskan tentang orang-orang yang berbuat kebajikan, dan memuji mereka atas apa yang telah diperbuat, baik berupa keimanan, sedekah ataupun kesabaran. Bahwa mereka itu adalah orang-orang jujur dan benar. Allah berfirman,

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)

Di sini dijelaskan dengan terang bahwa kebenaran itu tampak dalam amal lahiriah dan ini merupakan kedudukan dalam Islam dan Iman. Kejujuran serta keikhlasan keduanya merupakan realisasi dari keislaman dan keamanan.

Orang yang menampakkan keislaman pada dhahir (penampilannya) terbagi menjadi dua: mukmin (orang yang beriman) dan munafik (orang munafik). Yang membedakan diantara keduanya adalah kejujuran dan kebenaran atas keyakinannya. Oleh sebab itu, Allah menyebut hakekat keimanan dan mensifatinya dengan kebenaran dan kejujuran, sebagaimana firman Allah,

“(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al-Hasyr: 8)

Lawan dari jujur adalah dusta. Dan dusta termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah,

“Kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali Imran: 61)

Dusta merupakan tanda dari kemunafikan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda,

“Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari, Kitab-Iman: 32)

Kedustaan akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan akan menjerumuskan ke dalam neraka. Bahaya kedustaan sangatlah besar, dan siksa yang diakibatkannya amatlah dahsyat, maka wajib bagi kita untuk selalu jujur dalam ucapan, perbuatan, dan muamalah kita. Dengan demikian jika kita senantiasa menjauhi kedustaan, niscaya kita akan mendapatkan pahala sebagai orang-orang yang jujur dan selamat dari siksa para pendusta. Waallahu A’lam.

“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. az-Zumar: 32-35)

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/jujur-kiat-menuju-selamat.html

MAKNA KECURANGAN

Terdapat banyak definisi mengenai arti kecurangan

. Beberapa penulismengartikan secara berbeda-beda mengenai kecurangan. Meskipundemikian, diantara definisi-definisi yang dikemukakan tersebut, terdapatdua kelompok besar pendapat yang sifatnya cukup mendasar.Kelompok pertama berpendapat bahwa kecurangan tidak harus diartikansebagai suatu perbuatan yang disengaja, sedangkan kelompok yang lainberpendapat bahwa dalam istilah kecurangan terkandung maknakesengajaan.Modul ini mengambil sikap untuk lebih setuju pada pendapat kelompokkedua, artinya penulis berpendapat bahwa istilah kecuranganmengandung konotasi adanya kesengajaan dalam tindakan tersebut.Sejalan dengan hal tersebut di atas, modul ini mengartikan kecurangansebagai:

Perbuatan melawan/melanggar hukum yang dengan sengajadilakukan oleh orang/orang-orang dari dalam dan/atau dari luarorganisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadidan/atau kelompoknya yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain.

Sedangkan risiko kecurangan diartikan sebagai kecurangan yang mungkinterjadi dalam pelaksanaan suatu kegiatan.Sesuai dengan definisi di atas, maka terdapat kemungkinan di dalampelaksanaan kegiatan yang akan diaudit terjadi kecurangan yang dapatmerugikan organisasi, dan menjadi kewajiban auditor untuk mendeteksiapakah suatu kecurangan telah terjadi atau tidak terjadi. Hal ini sejalandengan tanggung jawab profesional auditor dan juga sejalan dengan tuntutan publik.

MAKNA PEMBALASAN

Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain. Reaksi itu dapat berupa perbuatan yang serupa, perbuatan yangseimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang seimbang. Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan.Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebaliknya pergaulan yagn penuh kecurigaanmenimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula. Pada dasarnya, manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial.Dalam bergaul manusia harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat amoral,lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya adalah perbuatan yang melanggar ataumemperkosa hak dan kewajiban manusia. Oleh karena itu manusia tidak menghendaki hak dan kewajibannya dilanggar atau diperkosa, maka manusia berusaha mempertahankan hak dan kewajibannya itu. Mempertahankan hak dan kewajiban itu adalah pembalasan.

SUMBER-SUMBER :

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/jujur-kiat-menuju-selamat.html

http://forum.dudung.net/index.php?topic=548.0
http://akiliblogspotc.blogspot.com/2011/11/upaya-menghindari-penderitaan.html”
http://id-id.facebook.com/notes/private-room/apa-itu-penderitaan-darimana-sumber-penderitaan-itu-datang-kapan-berakhirnya-pen/228131703917086
http://zidniagus.wordpress.com/2009/11/05/makna-kata-%E2%80%98al-%E2%80%98iqab%E2%80%99-siksaan-dalam-al-quran/
http://reformata.com/news/view/6109/mengapa-kemalangan-menimpa-orang-baik